Pasal 14 dan 15 Inkonstitusional, Mahkamah Agung Harus Membebaskan Tiga Pejuang Pakel

Pers Rilis TeKAD GARUDA

Surabaya, 01 April 2024

Tiga pejuang Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, yaitu Mulyadi (Kepala Desa Pakel), Suwarno (Kepala Dusun Durenan), dan Untung (Kepala Dusun Taman Glugo) tengah dikriminalisasi karena memperjuangkan hak atas tanah warga Desa Pakel. Proses kriminalisasi tiga pejuang Pakel ini telah mengalami kejanggalan sejak awal. Mereka mendapatkan surat panggilan yang cacat prosedur, seperti surat dikirim melalui kurir sehari sebelum pemeriksaan. Sampai pada akhirnya, pada tanggal 03 Februari 2023, mereka ditangkap paksa seperti penculikan.

Perlu diketahui, bahwa tiga pejuang tersebut dilaporkan dengan tuduhan telah melakukan tindak pidana, yakni penyebaran berita bohong yang dapat menerbitkan keonaran di masyarakat. Ancamannya pun sangat berat, yakni 10 tahun penjara sesuai dengan Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Tuduhan yang disangkakan kepada tiga petani Pakel terkait penyebaran berita bohong tersebut—dalam catatan kami di persidangan tidak pernah terbukti fakta hukum perbuatannya. Bahkan, bentuk keonaran yang dimaksudkan juga tidak pernah dibuktikan secara terang benderang.

Meskipun demikian, pada 26 Oktober 2023, tiga petani Pakel tersebut divonis bersalah dengan dijatuhi pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan 6 (enam) bulan. Menanggapi putusan Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi yang memberatkan jalannya keadilan bagi warga Pakel, upaya perlawanan kembali dilanjutkan dengan mengajukan banding pada Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur. Namun, putusan PT Jawa Timur pada 14 Desember 2023 ternyata tidak memberikan keadilan bagi tiga pejuang Pakel karena putusan tersebut justru menguatkan putusan PN Banyuwangi.

Perjuangan tidak berhenti di situ. Tiga pejuang Pakel tersebut kembali menempuh upaya hukum kasasi pada tingkat Mahkamah Agung (MA). Sayangnya, sejak mengajukan berkas kasasi pada 03 Januari 2024 sampai saat ini, perkara tersebut belum terdaftar di MA. Lalu, ditengah upaya kasasi yang sedang ditempuh tersebut, Pasal 14 dan 15 dinyatakan inkonstitusional melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XXI/2023 tertanggal 21 Maret 2024.

Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Inkonstitusional

Perjuangan tiga petani Pakel memasuki babak baru ketika pada tanggal 21 Maret 2024 Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XXI/2023 yang menyatakan bahwa Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia II Nomor 9) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam putusannya, MK menyebutkan bahwa norma pada Pasal 14 dan 15 UU No 1 Tahun 1946 tersebut mengandung unsur-unsur esensial antara lain, (1) “berita atau pemberitahuan bohong,” (2) “Onar atau keonaran,” dan (3) “kabar yang tidak pasti, atau kabar yang berkelebihan.” Dalam konteks “berita atau pemberitahuan bohong” dan “kabar yang tidak pasti, atau kabar yang berkelebihan”, MK menilai bahwa adanya sifat “ambiguitas” dikarenakan sulitnya menentukan ukuran atau parameter akan “kebenaran” sesuatu hal yang disampaikan oleh masyarakat. Perbedaan ukuran atau parameter dalam menentukan sesuatu hal sangat bergantung pada subjek hukum yang mempunyai latar belakang berbeda-beda. Ambiguitas parameter dalam mengeluarkan pendapat atau pikiran yang hanya memperbolehkan sesuatu yang dianggap benar saja (tidak bohong) dan tidak berkelebihan tersebut justru dapat menimbulkan pembatasan hak setiap orang untuk berkreativitas dalam berpikir untuk menemukan kebenaran itu sendiri. Karena itu, demi menjaga kebebasan berpendapat sebagai bentuk partisipasi publik dalam kehidupan berdemokrasi, negara tidak boleh mengurangi kebebasan berpendapat dengan ketentuan atau syarat yang bersifat absolut bahwa yang disampaikan tersebut adalah sesuatu yang benar atau tidak bohong.

Selanjutnya, dalam konteks unsur “onar atau keonaran”, MK menilai adanya ketidakjelasan terkait ukuran atau parameter yang menjadi batas bahaya karena onar atau keonaran sendiri memiliki beberapa arti di mana kata keonaran adalah bersifat tidak tunggal. Maka dari itu, penggunaan kata keonaran dalam Pasal 14 dan 15 UU No 1 Tahun 1946 berpotensi multitafsir karena antara kegemparan, kerusuhan, dan keributan memiliki gradasi yang berbeda-beda, demikian pula akibat yang ditimbulkan. Selain itu, makna keonaran yang tidak jelas dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 menyebabkan seseorang atau masyarakat yang dianggap menyebarkan berita bohong tidak lagi diperiksa berdasarkan fakta, bukti, dan argumentasi yang ada sehingga mengurangi kebebasan masyarakat dalam mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah sebagai hak yang dijamin UUD 1945.

MK juga menilai bahwa unsur “onar atau keonaran” sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman dan teknologi informasi yang saat ini berkembang dengan pesat, di mana masyarakat sudah memiliki akses yang luas dan mudah terhadap informasi melalui berbagai media, khususnya media sosial. Oleh karenanya, ketika ada seseorang yang menyiarkan berita atau pemberitahuan kepada masyarakat melalui media apapun dan menimbulkan diskursus (ruang pendiskusian) di ranah publik, maka tidaklah serta merta merupakan bentuk keonaran di masyarakat yang dapat diancam dengan hukuman pidana.

Adapun terhadap unsur “kabar yang tidak pasti” atau “kabar yang berkelebihan” atau “yang tidak lengkap” sebagaimana tertuang dalam Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 dan Penjelasannya, Mahkamah berpendapat bahwa unsur tersebut juga sulit ditentukan batasan atau parameternya. Mahkamah juga menganggap unsur “kabar yang tidak pasti” atau “kabar yang berkelebihan” tumpang tindih dengan unsur “pemberitahuan bohong” sehingga menjadi ambigu dan juga Penjelasan Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tidak menguraikan secara jelas gradasi atau tingkat keakuratan yang dimaksud sehingga bertentangan dengan asas norma hukum pidana yang harus dibuat secara tertulis (lex scripta), jelas (lex certa), dan tegas tanpa analogi (lex scripta).

Dengan demikian, maka rumusan norma pada Pasal 14 dan Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 yang luas dan tidak jelas, sehingga dapat diartikan secara tidak terbatas dan beragam, tentu sangat bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum bagi setiap warga negara.

Tiga Pejuang Pakel Harus Bebas

Perlu untuk disampaikan, bahwa kasus tiga pejuang Pakel yang dijerat menggunakan Pasal 14 dan Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946, unsur-unsur esensial yang terkandung tidak pernah terbukti secara jelas dalam fakta persidangan sehingga berakibat pada hilangnya kemerdekaan tiga pejuang Pakel. Tuduhan bahwa mereka telah menyiarkan “berita atau pemberitahuan bohong” dan “kabar yang tidak pasti, atau kabar yang berkelebihan” seharusnya dilihat sebagai kebebasan berpendapat dan tidak diancam dengan hukum pidana. Hal ini karena dalam fakta persidangan tuduhan menyiarkan berita bohong tidak bisa dibuktikan. Selain itu, keonaran akibat berita bohong yang dituduhkan juga tidak bisa dibuktikan secara jelas karena parameter dari keonaran itu sendiri tidak jelas atau multitafsir.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XXI/2023 membawa konsekuensi berupa adanya perubahan atas pasal yang didakwakan kepada Trio Pakel yang dinyatakan inkonstitusional. Ketentuan Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek van Strafrecht (WvS) mengatur bahwa “Bilamana ada perubahan dalam perundang-undang sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”. Ketentuan ini dipertegas oleh Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan “Dalam hal perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan Tindak Pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, proses hukum terhadap tersangka atau terdakwa harus dihentikan demi hukum”.

Maka dari itu, dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XXI/2023 dan demi mewujudkan terpenuhinya hak atas kepastian hukum yang adil bagi Tiga Pejuang Pakel sesuai dengan Pasal 28D UUD 1945, kami mendesak Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk segera menghentikan demi hukum perkara Trio Pakel yang dikenakan Pasal 14 dan Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 karena pasal yang didakwakan sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, persoalan yang dihadapi oleh tiga pejuang Pakel merupakan salah satu bentuk konflik agraria yang tak kunjung diselesaikan oleh pemerintah. Oleh karena itu, apabila mereka tidak segera diputus bebas, maka hal ini dapat membuka ruang kriminalisasi berkelanjutan serta menambah catatan hitam atas penegakan hukum di tanah air karena tidak ramah dan tidak memberikan keadilan bagi rakyat kecil, khususnya mereka korban konflik agraria.

~~ Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria dan Sumber Daya Alam (TeKAD GARUDA)

Narahubung:

Hosnan SH (TeKAD GARUDA/LBH BR Jatim) +6281938400001

Jauhar Kurniawan (TeKAD GARUDA/LBH Surabaya) +6283856242782